Selasa, 03 Agustus 2010

LINGKUNGAN DAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI POTONG


BAB V
LINGKUNGAN DAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI POTONG
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh besar terhadap kehidupan ruminansia. Oleh karena itu menjadi  hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Sifat-sifat Iklim Di Daerah Tropis
Sifat iklim di daerah tropis seperti di Indonesia tergolong iklim panas dan lembab. Hal ini ditandai dengan kelembaban udara rata-rata di atas 60%, curah hujan rata-rata di atas 1.800 mm/tahun serta perbedaan suhu antara siang dan malam hari tidak begitu menyolok sekitar 2 – 5 0C.
Berkaitan Dengan kehidupan ternak, maka dikenal dua daerah iklim yaitu :
  1. Daerah beriklim ideal (comfort zone) yang merupakan daerah beriklim normal bagi kehidupan ternak. Pada darah ini ternak bisa hidup nyaman, tanpa harus beradaptasi.
  2. Daerah beriklim / bersuhu kritis, merupakan daerah yang bersuhu di atas atau di bawah normal. Daerah ini kritis karena memaksa hewan untuk melakukan adaptasi guna mempertahankan kehidupannya. Akibatnya hewan akan stress. Jika suhu tinggi atau sangat dingin, maka hewan akan kehilangan lingkungan untuk hidup nyaman. Untuk adaptasi dengan lingkungan panas hewan umumnya mengeluarkan air lewat keringat, paru-paru dan mulut.

Tipe Iklim dan Hubungannya Dengan Produktivitas Ternak
Berkaitan dengan produktivitas ternak, iklim dapat dikelompokkn menjadi beberapa tipe yaitu :
1.       Tipe Iklim Basah
·         Hanya dijumpai di daerah tropis
·         Sifat-2 :
1.       Suhu udara sedang, tetapi Hujan biasanya lebat sehingga kelembaban tinggi
2.       Jenis vegetasi yang tumbuh adalah hutan yang terdiri dari pepohonan tinggi dengan dedaunan lebat. Sedangkan dibawahnya tumbuh semak-semak dan pepohonan  dengan ketinggian sedang.
3.       Tumbuhan tumbuh dengan cepat, termasuk hijauan pakan ternak mudah diperoleh sepanjang tahun.
·         Pengaruh iklim ini sangat besar terhadap produk peternakan, nilai gizi dan tanah.
4.       Produk Peternakan : Produk peternakan mudah rusak, terutama hasil pangan yang berasal dari hewan yang berkadar protein tinggi akan cepat membusuk karena mudah tercemari oleh bakteri.  
5.       Nilai gizi :
6.       Tanah

2.       Tipe Setengah Basah
-    Merupakan daerah padang rumput yang rumputnya dan pepohonannya tumbuh lebat (savana).
-    Sinar matahari pada musim kemarau panjang dengan suhu yang tinggi
-    Musim hujan kelembaban rendah
-    Daerah ini cocok pengembangan peternakan sapi, namun kekurangannya jaminan untuk kontinuitas pakan
3.       Tipe setengah kering
4.       Tipe kering
Iklim dalam pengertian umum meliputi
Hubungan Temperatur Lingkungan Dan Stress Panas
Lingkungan ternak dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu :
(1)    Abiotik  : semua faktor fisik dan kimia
(2)    Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef, 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yousef, 1984; Chantalakhana dan Skunmun, 2002), curah hujan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef, 1984; Cole and Brander, 1986).

Temperatur Lingkungan

Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius (Yousef, 1984). Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC (Chantalakhana dan Skunmun, 2002) atau Temperature Humidity Index (THI) < 72 (Davidson, et al. 2000).
Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama (Yousef, 1984). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Chantalakhana dan Skunmun, 2002).

Curah Hujan
Selama musim hujan, rata-rata temperatur udara lebih rendah, sedangkan kelembaban tinggi dibanding pada musim panas. Jumlah dan pola curah hujan adalah faktor penting untuk produksi tanaman dan dapat dimanfaatkan untuk suplai makanan bagi ternak.
Curah hujan bersama temperatur dan kelembaban berhubungan dengan masalah penyakit ternak serta parasit internal dan eksternal. Curah hujan dan angin juga dapat menjadi petunjuk orientasi perkandangan ternak (Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
Angin
Menurut Yousef (1984), angin diturunkan oleh  pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas  atau daerah panas dan dingin  pada atmosfir. Kecepatan angin  selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin.
Radiasi Matahari
Menurut Yousef (1984), Radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama :
(1)   Temperatur matahari yang tinggi
(2)   Radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir
Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak (Cole and Brander, 1986).
Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan (Yousef, 1984).

 

Produksi Panas dan Kehilangan Panas

Mamalia termasuk di dalamnya sapi potong dan perah, temperatur tubuhnya dikontrol pada level konstan. Hal itu dilakukan dengan termoregulasi. Kondisi khusus ini disebut homoitermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum (Sturkie, 1981). Homoitermis dapat terjaga dikarenakan keseimbangan sensitif di antara produksi panas (Heat Production = HP) dan kehilangan panas (Heat Loss = HL). Hal tersebut digambarkan dalam skema berikut.








Dipengaruhi  oleh :
-Hormon
-Produksi
-Aktivitas otot
-Pemeliharaan

Dipengaruhi  oleh :
-          Luas permukaan tubuh
-          Perlindungan Tubuh
-          Pertukaran air
-          Aliran darah
-          Lingkungan (temperature, kelembaban, angin, dll).

Sumber :
-          Makanan/cadangan tubuh
-          Fermentasi rumen/sekum
-          Lingkungan
         
                                                                                                        
                                                                                                                                                                                  
 




Pendinginan Evaporasi:
-          Respirasi Kulit

Pendinginan Non Evaporasi:
-          Radiasi
-          Konveksi
-          Konduksi
                                            






                                
KEHILANGAN PANAS

N
O
R
M
A
L

HIPORTHERMIA

PENAMBAHAN PANAS




HIPERTHERMIA





Gambar : Keseimbangan HP dan HL Menurut Sturkie (1981) dan Yousef (1984)
Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak langsung. Sedangkan kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan evaporasi (Yousef, 1984).

 

Regulasi Temperatur

Regulasi temperatur tubuh adalah suatu integrasi fungsi yang meliputi sifat dasar fungsi regulasi secara umum, yaitu deteksi oleh suatu sensor dari gangguan pada sistem; transmisi informasi dari sensor ke suatu pusat interpretasi; interpretasi signal dari sensor dan inisiasi instruksi signal yang sesuai, kemudian ditransmisi ke respon; eksekusi respon dan umpan balik keefektifan efektor respon ke dalam sensor, dengan mengurangi atau mengaktifkan gangguan sistem. Pada mamalia, ada dua jenis temperatur sensor yaitu sensor panas atau sensor yang berasal dari periferal termosensor dan sensor dingin yaitu sensor dari pusat termosensor (Yousef, 1984).
Sistem kontrol termoregulasi terdiri dari suatu seri elemen yang fungsinya interrelasi. Informasi termal diperoleh melalui periferal atau sensor temperatur tubuh dalam. Keluaran dari sensor ini dibawa oleh saraf aferen ke pusat kontrol termoregulasi dalam hipotalamus. Aktivasi efektor akan bervariasi tergantung kecepatan produksi panas atau kehilangan panas. Umpan balik ke sistem kontrol oleh sistem saraf atau aliran darah,  terjadi dengan adanya modifikasi masukan reseptor (Sturkie, 1981). Keadaan ini digambarkan dalam skema berikut.











                      Saraf aferen            Saraf eferen                                Drainase        Umpan
                                                                                                             Vena      Balik 
                                                                                                                                                        
  Termosensor                        Sistem Kontrol                Efektor                         Termal     
                                               Saraf Pusat                                                           Campuran
                                                                                                                                        
                                   
             Termo Sensor                                                             Kehilangan                                
   Periferal                                                                     Panas 
Hipotallamus

                                                                                                                 Jantung &                                                                                
                                                                                                                               Paru-Paru           
Thermosensor Pusat
 
Produksi Ternak




                                                                                                                                                     
                                                                                

   
                                                                                                                                                       
Sistem Kontrol Kehilangan dan Produksi Panas (Sturkie, 1981)
Menurut Curtis (1999), kontrol termoregulasi terdiri atas tiga jenis yaitu kontrol termoregulasi fisik, kontrol termoregulasi kimia dan kontrol termoregulasi tingkahlaku.

Zona Temperatur Netral 

Zona temperatur netral atau zona termonetral  (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari ternak (Curtis, 1999). ZTN disebut juga profil termonetral atau zona nyaman atau zona termopreferendum (Yousef, 1984). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi ternak melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie, 1981).
Pada temperatur di bawah ZTN, ternak akan meminimalkan semua jalur pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas ZTN ternak akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef, 1984).

Temperatur Lingkungan dan Stres

Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Adaptasi lingkungan ini tergantung pada ciri fungsional, struktural atau behavioral yang mendukung daya tahan hidup ternak maupun proses reproduksinya pada suatu lingkungan. Apabila terjadi perubahan maka ternak akan mengalami stres (Curtis, 1999).
Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef, 1984). Dengan kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan atau ketika toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah (Curtis, 1999).
Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas ZTN (upper critical temperature). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman (Yousef, 1985). Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi potong dan perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Mc Dowell, 1972).






EFEK FISIOLOGIS STRES PANAS

Efek Terhadap Hormonal

Temperatur berhubungan dengan fungsi kelenjar endokrin. Stres panas memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem endokrin ternak disebabkan perubahan dalam metabolisme (Anderson, et al. 1985).
Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stres panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain itu, selama stres panas konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan metabolisme air dan elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron yang berhubungan dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stres panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosteron (Anderson, et al. 1985).

Efek Terhadap Produksi Susu

Produksi susu akan menurun selama ternak mengalami stres panas. Pengaruh langsung stres panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolik dan menurunkan konsumsi makanan. Penurunan produksi susu pada sapi potong dan perah yang menderita stres panas terjadi karena adanya pengurangan pertumbuhan kelenjar mamae, yang pada awalnya mengurangi pertumbuhan fetus dan plasenta (Anderson, et al. 1985).
Di Indonesia, temperatur lingkungan yang mencapai 29 oC menurunkan produksi susu menjadi 10,1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11,2 kg/ekor/hari jika temperatur lingkungan hanya berkisar 18 – 20 oC (Talib, et al. 2002).

Efek Terhadap Komposisi Susu

Komposisi susu sangat dipengaruhi oleh stres panas. Sapi potong dan perah yang mengalami stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti kadar lemak, protein dan laktosa susu (Anderson, et al. 1985). Hasil penelitian Talib, et al. (2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi potong dan perah di Indonesia menjadi 3,2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3,7 % pada temperatur lingkungan 18 – 20 oC. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei and Hwang (2002), mendapatkan % lemak susu (3,58 ± 0,49), % protein susu (3,13 ± 0,11) dan % bahan padat bukan lemak (8,87 ± 0,41) dari susu pada sapi yang menderita stres panas dan hasil ini lebih rendah dibanding sapi yang tidak mengalami stres panas, namun kemudian diatasi dengan pemberian ransum dengan keseimbangan energi dan protein.















KULIT SAPI DAN KERBAU DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP KETAHANAN KERJA DALAM LINGKUNGAN PANAS
Kulit berperan sangat penting terhadap kesehatan tubuh. Beberapa peran penting kulit adalah :
  • melindungi kulit dari berbagai macam sumber infeksi,
  • menjaga panas tubuh, dan lain-lain.
Fungsi kulit ini tentu juga berkaitan dengan segala aparatus yang berada di kulit seperti rambut, kelenjar keringat, warna kulit, warna rambut dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan pada sapi Grati, sapi Bali, sapi Madura, Ongole dan kebau oleh Thahar, Moran dan Soeripto dari Balai Penelitian dan Pengembangan Ternak, Ciawi Bogor  menyebutkan bahwa :
a. Rambut sapi :
  • rambut sapi Ongole adalah yang terpendek di antara beberapa bangsa sapi di Indonesia, sedangkan rambut sapi Grati (peranakan FH) terpanjang.
b. Diameter rambut :
  • Sapi Ongole mempunyai diameter rambut terbesar
  • dan sapi Grati terkecil. Kulit kerbau lebih tebal dari kulit sapi.
c. Tebal kulit :
  • Tebal kulit kerbau 6,3 (invivo) dan 7,9 (slide), sedangkan tebal kulit sapi 3,2 (invivo) dan 4,0 (slide). Jumlah kelenjar keringat sapi Ongole menduduki peringkat tertinggi yaitu 2327, sedangkan sapi Grati 1990. Pada sapi, kelenjar keringat pada gelambir cenderung lebih banyak dibanding pada daerah gumba atau sisi badan. Di antara ternak-ternak tersebut, kerbau mempunyai jumlah kelenjar keringat paling sedikit (95). Kedalaman kelenjar keringat, rambut dan panjang akar rambut di antara ternak-ternak tersebut mempunyai urutan yang serupa dengan ketebalan kulit. Kemiringan akar rambut lebih kecil pada kerbau (44 derajat) dibanding sapi (53 derajat).

Banyaknya kelenjar keringat per sentimeter persegi, panjang rambut dan ketebalan kulit mempunyai hubungan erat terhadap ketahanan panas. Hal ini juga menjelaskan mengapa kerbau lebih tidak tahan panas dibanding sapi. Sapi Grati mempunyai ketahanan panas paling rendah sedang sapi Ongole paling tinggi. Hal ini mungkin disebabkan sapi Grati adalah turunan dari sapi Bos taurus yang asalnya bermukim di daerah dingin. Sedangkan kerbau diurutkan mempunyai ketahanan panas lebih rendah dibanding sapi, meskipun demikian kerbau mempunyai kemampuan adaptasi tertentu untuk menghadapi panas.
STRATEGI PENGURANGAN STRES PANAS
Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar. Beberapa strategi yang digunakan untuk mengurangi stres panas dan telah memberikan hasil positif adalah :
Þ     Perbaikan sumber pakan/ransum, dalam hal ini keseimbangan energi, protein, mineral dan vitamin (Ha, 2002 ; Mei and Hwang, 2002 ; Churng, 2002).
Þ     Perbaikan genetik untuk mendapatkan breed yang tahan panas (Kwang, 2002).
Þ     Perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan mengkontinyu kan suplai air (Velasco, et al. 2002).
Þ     Penggunaan naungan, penyemprotan air dan penggunaan kipas angin serta kombinasinya (Liang, 2002).

Kesimpulan


  1. Sapi potong dan perah di daerah tropis sangat mudah mengalami stres panas.
  2. Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berada di atas zona termo netral atau toleransi sapi potong dan perah terhadap lingkungan menurun.
  3. Stres panas pada sapi potong dan perah di daerah tropis dapat menyebabkan perubahan hormonal, penurunan produksi susu dan penurunan komposisi air susu.
  4. Strategi mengurangi stres panas pada sapi potong dan perah di daerah tropis dapat dilakukan dengan perbaikan mutu gentik, makanan dan manajemen.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson R.R., R.J. Collier, A.J. Guidry, C.W Heald, R. Jenness, B.L. Larson and H.A. Tucker, 1985. Lactation. The Iowa University Press, Ames, Iowa.
Chantalakhana, Ch. And P. Skunmun, 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.
Churng Faung Lee, 2002. Feeding Management and Strategies for Lactating Dairy Cows under Heat Stress.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Cole, D.J.A. and G.C. Brander, 1986. Bioindustrial Ecosystems. Elsevier, Amsterdam.
Curtis, S.E. 1999. Environmental Management in Animal Agriculture. Agricultural Communications, University of Illinois, Urbana.
Davidson, T., M. McGowan, D. Mayer, B. Young, N. Jonsson, A. Hall, A. Matschoss, P. Goodwin, J. Goughan and M. Lake, 2000. Managing Hot Cows in Australia.The Dairy research and Development Corporation, Queensland. 
Ha Yeon Jeong, 2002. Effect of Feed Resources (Energy, Protein, Minerals, Vitamins) on Reducing Heat Stress for Dairy Cattle in Korea. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Kwang Jin Han, 2002. Reducing Heat Stress for Dairy Cattle in Korea. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Liang Chou Hsia, 2002. How to Release Heat Stress from Dairy Cattle. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Mei Chu Lee and Sen Yuan Hwang, 2002. Effect of Dietary Energy and Protein Balance on the Performance of Dairy Cow in Hot Season. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Mc Dowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman and Company, San Fransisco.
Owen, J. 1995.  Cattle Feeding. Second Edition. Farming Press Books, United Kingdom
Sturkie, P.D. 1981.  Basic Physiology. Springer-Verlag New York, Inc. USA.
Talib, Ch., T. Sugiarti and A.R. Siregar, 2002. Friesian Holstein and Their Adaptability to the Tropical Environment in Indonesia. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Velasco, N.B., J.A. Arguzon and J.I. Briones. 2002.  Reducing Heat Stress in Dairy Cattle : Phlippines. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Yousef, M.K. 1985.  Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.


POPULASI SAPI BALI DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DAGING

(Bali Cattle Population and National Meat Demand



Populasi sapi Bali yang merupakan bangsa sapi asli Indonesia, berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos sondaicus (Bos banteng). Populasinya saat ini ditaksir sekitar 526.031 ekor. Kekhawatiran akan terus menurunnya populasi sapi Bali dipicu oleh kenyataan bahwa selama krisis ekonomi, tingkat permintaan sapi lokal meningkat seiring mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi Bali hidup dikirim ke beberapa kota bear di pulau Jawa menjadi sering terlihat belakangan ini. Sedikitnya 50.000 ekor sapi Bali setiap tahunnya dikapalkan ke luar propinsi Bali.

Selain sapi Bali, bangsa sapi lokal lainnya adalah sapi Grati, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus, ciri-ciori fenotipik punduk diperoleh dari B. indicus, sedangkan warna kulit coklat atau merah bata sama dengan B. sondaicus. Dari jumlah total populasi sapi lokal sebanyak 12.000.000 ekor, 500.000 ekor merupakan tipe sapi perah dan sisanya 11.500.000 ekor tergolong tipe sapi potong. Perkiraan pertambahan populasi sebanyak 3.500.000 ekor per tahun.
 
Sejak lama sapi Bali sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dan mendominasi spesies sapi di Indonesia Timur. Peternak menyukai sapi Bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai feritiliast tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadp perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 %. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara 15,48 - 16,28 bulan.

Tabel 1. Penampilan Sapi Bali dengan Pemberian Pakan Konsentrat Selama 154 Hari
(Performance of Bali Cattle Feeding with Concentrate Feed for 154 Days)

Parameter Nilai (Value)
Rata-rata Berat Hidup (kg)
Average Live Weight (kgs)
334.7
Konsumsi Pakan Bahan Kering (kg/ekor/hari)
Dry Matter Feed Consumption (kg/head/day)
6.02
Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian (kg/ekor/hari)
Average Daily Gain (kg/head/day)
0.66
Nisbah Konversi Pakan
Feed Convertion Ratio 
9.12
Kecernaan Bahan Kering (%)
Organic Matter Digestibility (%)
86.60

Catatan : Pada penelitian di Institut Pertanian Bogor, sapi Bali dengan berat awal 250 kg dibagi dalam 2 tahap perlakuan pakan. Tahap pertama diberikan rumput selama 3 bulan, diikuti pemberian campuran rumput dan konsentrat selama 154 hari, secara nyata meningkatkan berat badan sebanyak 50 kg.

(Note : On research conducted in Bogor Institute of Agriculture, 250 kg initial weight of Bali cattle divided with 2 stage feed treatment. On the first stage, feeding grass for 3 months followed with mixed grass and concentrate feed for 154 days on the second stage will significantly increase body weight as much as 50 kgs.) 

Permintaan Daging

Pasar domestik setiap tahunnnya rata-rata membutuhkan 490.000 ton daging atau setara dengan 1,4 juta ekor sapi dengan berat hidup rata-rata 350 kg per ekor. Sementara pada saat yang sama, peternakan lokal baru mampu menyediakan 350.000 ton daging dan kebutuhan sisanya dipenuhi dengan melakukan impor dalam bentuk 400.000 ekor sapi bakalan untuk digemukkan dan sekitar 30.000 ton daging beku. Impor sapi didominasi sapi-sapi asal Australia sebanyak 75 % dengan pertimbangan harga yang lebih murah dan kedekatan geografis sehingga ongkos angkut lebih rendah. Kuantitas sisanya didatangkan dari Amerika Serikat dan Selandia Baru. Belakangan ini Pemerintah membuka kran impor dari negara-negara lain seperti Kanada, Irlandia, dan Argentina. Sepanjang tahun 1990 telah diimpor sebanyak 8.500 ton daging sapi dan 100.000 ekor sapi bakalan dari negara tetangga tersebut. Pada tahun 2000 diputuskan untuk melakukan impor 200.000 ekor sapi bakalan.
Tabel 2. Rata-rata Ukuran Penampilan Produksi Sapi Potong
(Average Production Phenotipic of Beef Cattle) 

Parameter Species of Cattle
Bali Ongole Peranakan Ongole (Hybrid of Ongole) Madura
Jumlah Yang Diukur (ekor) Population Sample (head) 122 89 169 132
Panjang Badan (cm)
Length Body (cm)
132.6 136.9 131.3 127.3
Lingkar Dada (cm)
Round Chest  (cm)
185.2 183.3 162.3 158.8
Berat Hidup (kg)
Live Weight (kg)
352.4 368.3 302.6 258.3
Berat Karkas (kg)
Carcass Weight (kg)
197.1 179.9 136.2 121.9

Source : Fakultas Peternakan IPB, 1970

Tabel 3. Rata-rata Bagian Tertimbang Sapi Yang Dipotong
(Average Organ Weight of Slaughtered Cattle) 

Parameter
Species of Cattle
Bali Ongole Peranakan Ongole (Hybrid of Ongole) Madura
Jumlah Yang Diukur (ekor) Population Sample (head) 133 17 85 100
Berat Kepala (kg)
Head Weight (kg)
15.1 19.6 15.2 15.1
Berat Kulit (kg)
Skin Weight (kg)
30.4 26.8 18.4 16
Berat Kaki (kg)
Foot Weight (kg)
6.1 7.5 5.8 5.1
Berat Ekor (kg)
Tail Weight (kg)
1.9 2.9 2.3 2.9
Berat Jantung (kg)
Heart Weight (kg)
5.3 6.7 3.8 3.4
Berat Hati (kg)
Liver Weight (kg)
3.7 5.2 3.3 2.9

Source : Fakultas Peternakan IPB, 1970 

Total konsumsi daging nasional sebanyak 1,5 juta ton per tahun terdiri atas 450.000 ton daging sapi, 750.000 ton daging ayam dan 300.000 ton sisanya dikontribusi dari daging spesies lain seperti kambing, domba, kebau, babi). Untuk memenuhi tingkat permintaan akan daging sapi tersebut, setiap tahunnya harus dipotong sebanyak 1,6 - 1,7 juta ekor sapi dengan berat hidup rata-rata 125 kg. Tetapi sayangnya, banyak peternakan yang ingin cepat memperoleh hasil penjualan, juga memotong ternak-ternak betina yang sehat dan potensial (diperkirakan sebanyak 70 % merupakan ternak betina reproduktif dan pejantan unggul), selanjutnya menyisakan ternak-ternak berkualitas rendah untuk dikembangbiakkan.  Pemerintah (Pusat dan Propinsi) mempunyai kebijakan standar untuk persyaratan pengangkutan ternak antar propinsi tetapi masih kesulitan untuk implementasi di lapangan. Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut maka penurunan populasi sapi lokal yang begitu pesat, khususnya sapi Bali akan mengarah kepada kepunahan spesies.

 

Summary :
Sapi Bali as indigenous Indonesian cattle was domesticated from wild ox Bos sondaicus (Bos banteng). The current population about 526,031 heads are  decreasing continuously. Rise demand on local red meat instead of expensive imported beef meat lately became more obviously to decrease the population of native species. A large amount of Bali cattle sent to several main cities in Java being more intensified, and at least 50,000 heads were shipped out of the origin province (Bali) every year.

Others local species known as Sapi Grati, Sapi Madura and Sapi Peranakan Ongole (cross result between male Ongole and female Jawa). Sapi Madura actually known as cross result between Bos sondaicus and Bos indicus. The phenotipic characteristic as hump heritaged  from B. indicus and brown or darken red skin color heritaged from B. sondaicus. From as much as about 12,000,000 heads of total local  population, 500,000 heads among them are dairy type and the remaining 11,500,000 heads are beef type. Population estimated to increase 3,500 heads annualy.

Long time Bali cattle has been spreading into entire areas in the country and dominate cattle species in eastern region. Farmers prefer to raise this species as they have several superior production characteristic such as having high fertility, more resistant to adverse environment, fast adapt to new envvironment, prolific, possitive response to feeding treat ment, low fat carcass, meat tenderness not inferior with imported meat. The fertility of Bali cattle is in range 83 - 86 % compared to 60 % fertility of Europaean cattle. Other reproductive characteristics as pregnant period 280 - 294 days, conception rate 86.56 %, birth mortality 3.65 %, birth percentage 83.84 %, and weaning interval 15.48 - 16.28 months.

Meat Demand. Domestic market has averagely required 490,000 ton of meat annualy, equal with 1.4 million 350 kg live weight cattle. Unfortunately at the same time, local farmers only to produce 350,000 ton of meat and the shortage should be imported as 400,000 feeder steers for fattening and about 30,000 ton as frozen meat. As much as 75 % of imported cattle coming from Australia, since their price is cheaper as much closer geografically to lower the transportation cost. The remaining shortage being fulfilled by importing from United States and New Zealand. Currently much signnificant amount imported from Canada, Irish, and Argentine. During year 1999 such amount of 8,500 ton of beef meat and 100,000 heads of feeder steers has been imported from several countries. Another 200,000 feeder steers should be imported in the year 2000.

National meat consumption totally about 1.5 million ton annualy consist of 450,000 ton of beef meat, 750,000 ton of poultry meat, and remaining 300,000 ton from others species (goat, sheep, buffalo, swine). In order to make sufficient, 1.6 - 1.7 million of 125 kgs live weight cattle should be slaughtered annualy. Unfortunately a lot farmers also bring reproductive healthy female to the slaughter house and leave poor quality cattle behind as for replacement stock or cattle breeder. Bali cattle will face extincition in the short coming years when this uncontrolled slaughter keep going.

Reference :
1. D. Wahyuni. Sapi Bali di Ambang Kepunahan. Bisnis Indonesia. October 2000.
2. B.A. Murtijo. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius. 1990.
3. Tim Fokus. Perdagingan Nasional di Ujung Tanduk. Komoditas. No 07/Tahun 1.
    October 1999.